Sabtu, 14 November 2009

GENIA FESTIVAL : Melawan Jihad yang Salah(part 1)

Namaku ismail, umurku 26 tahun, aku adalah seorang polisi didivisi mata-mata di detasemen khusus 88 anti teror, dahulu aku adalah seorang polisi laut, semenjak latihan bersama antara polisi Indonesia dengan Australia dilakukan aku dimutasi ke bagian Densus 88 anti teror divisi mata-mata. Semenjak bom dikedutaan besar Australia terjadi, polisi semakin gencar memburu teroris, terutama setelah bom di 2 hotel elite di Jakarta meledak, yang menyebabkan timnas bola kita tidak dapat melakukan pertandingan persahabatan dengan salah satu tim bola terbaik dunia.
Setelah bom meledak di kedua hotel tersebut, kepala polisi Republik Indonesia langsung memberiku perintah langsung untuk memburu otak dibalik semua kegiatan teroris di Indonesia, Noordin M. Top merupakan dalang dari semua kegiatan teroris di Indonesia. Terkadang dalam pekerjaan ku memburu Noordin, aku berpikir, apakah aku lakukan adalah benar. Para teroris itu mengatakan bahwa mereka sedang berjihad, aku juga ingin berjihad, membela agamaku dari aksi-aksi tak berperikemanusian yang dilakukan Amerika Serikat dan Israel. Tapi apakah cara mereka sudah benar?, jika ingin berjihad, mengapa harus dinegeri yang damai ini, dimana semua umat beragama hidup secara bersamaan dengan damai. Aku terus berpikir. Ketika aku masih kecil, kedua orang tua ku juga mengajarkan bahwa dbunuh diri itu dosa yang sangat besar, dosanya tidak akan diampuni oleh Allah. Saat ini aku hanya berpikir, mereka berjihad dengan cara mereka, dan aku berjihad dengan caraku sendiri.
Kurang dari sebulan setelah pemboman di dua hotel elit di Jakarta terjadi, aku mendapat kabar bahwa Noordin berada di sebuah desa kecil di Jawa tengah. Setelah melakukan pengintaian yang cukup lama, aku yakin bahwa orang yang mengontrak rumah di desa kecil tersebut benar-benar noordin. Aku terus mengintai, aku pun sempat berpapasan dengan orang yang kepalanya dihargai 1 milyar oleh kepolisian. Tetapi tugasku hanya mengintai, aku tak punya hak untuk langsung menangkap teroris tersebut, ingin rasanya aku menangkap dia sekarang, noordin lah yang menyebabkan kakakku tewas, ketika pengeboman di kedubes Australia. Sangatlah tragis, nasib kakaku, kakakku tewas, karena ingin pulang melihat adiknya yang menjadi seorang perwira polisi sedang pesiar ke Jakarta. Karena kejadian itu pula aku sempat ingin keluar dari polisi. Aku sangat merasa bersalah kepada kakakku. Sebelum meninggal di rumah sakit, beliau masih sempat memberikan sebuah jam tangan sport berwarna biru. Kakakku pernah berjanji kepadaku, jika aku berhasil menjadi seorang perwira polisi, aku akan diberikan sebuah jam tangan yang aku impikan semenjak aku SMA. Kakakku sangat berobsesi adiknya menjadi polisi, karena suatu kekurangan pada kakakku, beliau gagal menjadi polisi.
Setelah melakukan pengintaian selama seminggu, aku memastikan bahwa noordin akan tinggal di desa terpencil itu cukup lama. Aku langsung terbang kejakarta, memberikan laporan kepada Kapolri, aku pun ditunjuk untuk menjadi pemimpin dalam operasi tersebut. Aku meminta 100 orang terbaik di Densus 88 utuk melakukan penyerbuan. Jam menunjukan pukul 8.00 malam, aku memerintahkan 40 orang untuk melakukan pengevakuasian penduduk. Sisanya bersiap diposisi masing-masing. Rumah tempat Noordin tinggal, merupakan rumah kecil, dengan sawah disekelilingnya, dibagian belakang rumah tersebut ada sebuah bukit. Karena rumah target merupakan daerah terbuka, aku melakukan stategi pagar betis, dimana setiap jam pasukanku maju mendekat target sesuai perintahku. Aku sempat memberikan peringatan agar Noordin segera menyerah. Tetapi peringatanku dibalas dengan sebuah bom pipa. Aku perintahkan agar pasukanku mundur. Karena terlalu beresiko, akhirnya aku menggunakan sebuah robot penjinak bom. Aku pecah pasukan ku mejadi 20 orang dan 40 orang. 20 orang melakukan penjinakan bom, sisanya tetap melakukan penyerbuan. Di bukit dekat rumah target kutempatkan 10 orang penembak jitu. 30 orang sisanya semakin mendekat ketarget.
Jam menunjukkan pukul 5.00 pagi, sebenarnya aku ingin melakukan serangan secara frontal, tetapi aku setengah ragu-ragu, yang kutakutkan adalah noordin menyimpan bom dengan daya ledak yang sangat besar. Aku tak ingin ada nyawa anak buahku yang terbuang secara sia-sia.
Pukul 6 pagi, aku menyuruh anak buah ku untuk mengoprasikan robot pemburu, masuk kerumah target. Kuperintahkan anakbuah ku untuk membuka tembok bagian sayap kanan rumah target. Noordin semakin terpojok, dia sempat melakukan tembakan balasan. Tetapi itu tidak berarti apa-apa. Karena terpojok, noordin lari kekamar mandi bagian belakang rumah, kuperintahkan penembak jitu menembaki bagian belakang rumah. Lalu kuberi peringatan untuk Noordin sekali lagi, Noordin malah membalasnya dengan dua kalimat syahadat, kemudian boom, tiba-tiba ada sebuah ledakan besar, aku yang berada di pintu bagian depan pun merasakan dampaknya, tubuhku terhempas cukup jauh. Karena tidak mau mengambil resiko, terlebih dahulu akau mengirim robot pengintai. Setelah dipastikan aman, aku beserta anak buahku masuk. Ternyata noordin lebih memilih untuk bunuh diri, kulihat tubuh noordin tidak berbentuk lagi. Kubawa jasad noordin keluar rumah, tapi aku merasa mendengar bunyi sesuatu. Setelah kuperikasa ternyata ada sebuah bom aktif. Dan waktunya hanya 5 menit. Aku dan 5 anak buah ku segera melakukan penjinakan. Kupindahkan bom tersebut dengan hati-hati dari tubuh noordin. Ku buka pembungkusnya. Ada 3 warna kabel, yaitu biru, merah dan hijau. Ini merupakan tipe bom tingkat tinggi, karena ketika aku salah memotong, maka bom itu langsung meledak. Disini instingku sebagai anggota Densus 88 diuji. Aku terus berpikir, aku berdoa kepada allah, agar diberikan sebuah kemudahan. Aku terus berpikir, berpikir dan berpikir, waktu pada bom tersebut hanya tinggal 30 detik, aku terus berpikir, aku terus melihat jam pemberian kakakku, entah apa yang terjadi, hati kecilku mengatakan warna kabel yang harus kupotong adalah biru. Tanpa berpikir panjang, kuperintahkan anak buahku untuk memotong kabel warna biru. Dan alhamdulilah tenyata instingku tepat. Selang beberapa lama, helikopter datang, jasad noordin pun dibawa untuk di otopsi.
Setelah seminggu otopsi dilakukan, hasilnyapun keluar. Sungguh terkejutnya aku ketika mendengar penjelasan dari tim dokter, bahwa jasad tersebut bukan noordin. Jasad tersebut adalah Ibrahim. Orang yang tiba-tiba menghilang dari hotel, ketika bom meledak di hotel.
Hasil kerja keras kami, sepertinya tidak dihargai, banyak orang yang mencela kami. Bahkan DPR yang dahulu mendukung kami, latah ikut mencelah kami. Pers pun demikian. Banyak usulan agar yang melakukan operasi di kemudian hari adalah TNI. Aku hanya bisa pasrah.
1 hari setelah hasil otopsi diumumkan, aku dipanggil oleh Kapolri, beliaulah satu-satunya orang yang memberiku ucapan selamat, atas operasi yang aku lakukan. Beliau mengatakan teruslah berjuang.
(pemuda kasep bandung novel Collection)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar